Kepemimpinan adalah suatu fungsi kualitas seorang individu bukan fungsi situasi , teknologi, atau durungan masyarakat. Hal ini mengandung pengertian dasar bahwa penelitian-penelitian kepemimpinan selalu condong menyatakan bahwa individu merupakan sumber kegiatan-kegiatannya. Atas dasar pendapat ini, para teorisi-teorisi sifat kepemimpinan berusaha untuk mempelajari sejarah pemimpin-pemimpin besar, seperti Napoleon, Hitler, Mao Tse Tung, Mahatma Gandhi dan sebagainya, Untuk menemukan ciri-ciri yang dimiliki mereka. Sebagai contoh, terhadap napoleon diteliti ciri-cir kepemimpinan alamiyahnya yang mampu membangkitkan situasi dan menjadi pemimpin besar.
Keith Davis mengikhtisarkan ada 4 ciri utama yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan dalam organisasi:
1. Kecerdasan (intelligence)
Penelitian-penelitian pada umunya menunjukan bahwa seorang pemimpin mempunyai tingkat kecerdasn yang lebih tinggi daripada pengikutnya, tetapi tidak sangat berbeda.
2. Kedewasaan social dan hubungan social yang luas (social maturity and breadth)
2. Kedewasaan social dan hubungan social yang luas (social maturity and breadth)
Pemimpin cenderung mempunyai emosi yang stabil dan dewasa atau matang, serta mempunyai kegiatan-kegiatan dan perhatian yang luas.
3. Motivasi diri dan Dorongan berprestasi
3. Motivasi diri dan Dorongan berprestasi
Pemimpin secara relative mempunyai motivasi dan dorongan berprestasi yang tinggi. Mereka bekerja keras lebih untuk nilai intrinsic daripada ekstrinsik
4. Sikap-sikap Hubungan Manusiawi
4. Sikap-sikap Hubungan Manusiawi
Seorang pemimpin yang sukses akan mengakui harga diri dan martabat pengikut-pengikutnya, mempunyai perhatian yang tinggi dan berorientasi pada karyawan.
Ciri-ciri yang dikemukakan davis diatas adalah hanya salah satu daftar dari sekian banyak kemungkinan sifat-sifat penting kepemimpinan organisasional. Meskipun seorang dapat memperoleh data-data riset untuk mendukung sifat-sifat pada daftar Davis atau ahli lain, sampai sekarang tidak ada yang konklusif. Teori sifat kepemimpinan ini lebih bersifat deskriptif tetapi dengan nilai analitis dan prediktif yang rendah.
Gaya-gaya kepemimpinan
gaya kepemimpinan adalah suatu cara pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya. Secara relative ada tiga macam gaya kepemimpinan yang berbeda:
1. Otokratis
gaya kepemimpinan yang menggunakan kekuatan jabatan dan kekuatan pribadi secara otoriter, melakukan sendiri semua perencanaan tujuan dan pembuatan keputusan dan memotivasi bawahan dengan cara paksaan, sanjungan, kesalahan dan penghargaan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Gaya kepemimpinan ini tidak sesuai denga keadaan masyarakat sekarang. Globalisasi membutuhkan para pemimpin yang dapat membuat para pengikutnya dapat bekerja secara efektif dan efisien. Dibutuhkan banyak inisiatif dan kretivitas yang tinggi dalam menghadapi persaingan global. Jika tidak maka kita akan tersingkir dan terseleksi dengan mudah.
2. Demokratis atau Partisipatif
Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya seorang pemimpin yang menghargai karakteristik dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap anggota organisasi. Pemimpin yang demokratis menggunakan kekuatan jabatan dan kekuatan pribadi untuk menggali dan mengolah gagasan bawahan dan memotivasi mereka untuk mencapai tujuan bersama.
Gaya demokrasi merupakan pendekatan yang berpusat pada orang dimana mengizinkan pekerja lebih mengontrol dan berpartisipasi secara individual dalam pembuatan keputusan. Penekanan gaya ini berada pada pengembangan tim dan keinginan untuk berkolaborasi melalui upaya bersama dari semua anggota tim. Pemimpin demokrasi berfungsi memfasilitasi pencapaian tujuan sambil menekankan nilai dari masing-masing individu. Gaya ini tidak sesuai pada tenaga yang masih baru yang membutuhkan banyak arahan.
3. Laissez-Faire
Kepemimpinan dengan gaya seperti ini seringkali mengacu pada istilah “gaya bebas” atau kepemimpinan permisif. Tipe ini melepaskan sepenuhnya kendali dan memilih untuk menghindari tanggung jawab dengan melimpahkan seluruh pengambilan keputusan pada kelompok.
Gaya kepemimpinan laisses faire dapat diartikan sebagai gaya “membiarkan” bawahan melakukan sendiri apa yang ingin dilakukannya. Dalam hal ini, pemimpin melepaskan tanggung jawabnya, meninggalkan bawahan tanpa arah, supervisi atau koordinasi sehingga terpaksa mereka merencanakan, melakukan dan menilai pekerjaan yang menurut mereka tepat.
Kebanyakan manajer mempergunakan ketiganya pada suatu waktu, tetapi gaya yang paling sering digunakan akan dapat dipakai untuk membedakan seorang manajer sebagai pemimpin yang Otokrati, Demokratis atau laissez-Faire.
Pada suatu waktu ditemukan kasus seperti contoh dibawah ini.
Kasus:
Drs. Hartoyo telah menjadi manajer tingkat menengah departemen produksi suatu perusahaan kurang lebih selama 6 bulan. Hartoyo bekerja pada perusahaan setelah dia pensiun dari tentara. Semangat kerja departemennya rendah sejak dia bergabung dalam perusahaan. Beberapa dari karyawan menunjukan sikap tidak puas dan agresif.
Pada jam istirahat makan siang, Hartoyo bertanya pada Drs. Abdul Halim, Ak., manajer departemen keuangan apakah dia dia mengetahui tentang semangat kerja yang rendah dalam departemen produksi. Abdul Halim menjawab bahwa dia telah mendengar secara informal melalui komunikasi “grapevine”, bahwa para karyawan hartoyo merasa tidak senang dengan pengambilan semua keputusan yang dibuat sendiri olehnya. Dia (Hartoyo) menyatakan “Dalam tentara, saya membuat semua keputusan untuk bagian saya, dan semua bawahan mengharapkan saya untuk berbuat seperti itu.”
Pertanyaan dan Jawaban Kasus:
- Gaya kepemimpinan macam apa yang digunakan oleh Hartoyo? Bagaimana keuntungan dan kelemahannya? Bandingkan motivasi bawahan Hartoyo sekarang dan dulu sewaktu di tentara.
- Konsekuensinya apa, bila hartoyo tidak dapat merubah gaya kepemimpinannya? Apa saran saudara bagi perusahaan, untuk merubah keadaan?
- Pertanyaan kasus ini dapat di jawab dengan memperhatikan gaya gaya kepemimpinan pada artikel diatas. Berdasarkan pandangan saya untuk kasus ini dan melihat pada pembagian gaya kepemimpinan, maka Hartoyo menggunakan gaya kepemimpinan yang Otokratis, dia berlaku secara otoriter, melakukan sendiri semua perencanaan tujuan dan pembuatan keputusan. Gaya kepemimpinan seperti ini tidak sesuai dengan keadaan departemen produksi, karena sifat dan karakter bawahan Hartoyo di departemen produksi dan bawahan saat dia berada di kemilitran itu sangat berbeda, jadi gaya kepemimpinan seperti Hartoyo ini sangat tidak cocok untuk di terapkan pada bawahannya di departemen produksi.Gaya otokratis yang diterapkan oleh Hartoyo kepada bawahannya di departemen produksi tidak begitu memperlihatkan keuntungan berbeda pada saat dia berada dikemiliteran dengan gaya kepemimpinan yang otokratis Hartoyo berhasil membangun semangat dan disiplin bawahannya justru pada kasus diatas yang jelas terlihat dari gaya kepemimpinann seperti ini adalah kelemahannya yang menyebabkan bawahan Hartoyo merasa kurang puas atas keputusan yang telah dibuat dan diputuskan oleh Hartoyo dan bersifat agresif serta menyebabkan semangat kerja bawahan Hartoyo menjadi menurun. Dari penjelasan diatas kita dapat membandingkan hasil yang diperoleh dari gaya kepemimpinan otokratis yang diterapkan oleh Hartoyo untuk masing-masing bawahannya saat dikemiliteran dan saat ini yaitu pada departemen produksi.
- Menurut saya konsekuensi atau pemecahan masalah yang dapat dilakukan jika Hartoyo tidak dapat merubah gaya kepemimpinannya adalah dengan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat bawahannya kembali memiliki semangat kerja, tapi jika hal itu tidak dapat dilakukan maka sebagai saran dari saya sudah seharusnya pergantian manajer dilakukan oleh perusahaan dan memindahkan Hartoyo ke departemen yang sesuai dengan gaya kepemimpinannya agar keadaan departemen produksi dapat kembali seperti semula sebelum Hartoyo menjadi manajer di departemen produksi tersebut.
No comments:
Post a Comment